Dilema Perempuan Usia 25 : Maya Imayanti Nurmala.

Sesekali pengen bermimpi untuk hidup tanpa ketergantuangan keluarga. Berada nggak dekat dan nggak jauh pula dari pandangan mereka. Saya pribadi, bisa hidup dengan maunya saya, tanpa rasa sungkan dan nggak enak hanya karena mereka keluarga. Inilah kenapa saya keukeuh pengen punya rumah sendiri, kalau dulu ngebet pengen punya rumah di Perum wkwkwk.
Sesekali saya pengen membangun dunia bersama pasangan saya, bener-bener berdua. Tanpa campur tangan keluarga atau lingkungan mereka. Perasaan ini mengingatkan saya akan sebuah ungkapan lama, katanya:
“Merantaulah ... karena dengan merantau kamu akan tau makna sebenarnya”
Di tahun 2012 untuk pertama kalinya saya pergi jauh dari rumah. Membuat air mata dan pelukan itu tak juga padam hanya karena saya belum pernah sekalipun jauh dari mereka. Bagi saya, 3 bulan pertama itu menjadi kado terburuk yang pernah saya terima. Namun entah kenapa, usai 3 bulan berlalu saya begitu menikmatinya. Saya rasa, ada begitu banyak kualitas yang saya rasakan. Jauh dari mereka, membuat saya begitu memiliki segudang rindu untuknya. Rasanya ingin selalu dekat dengan tau kabar mereka. Ingin selalu mendengar suara mereka. Ahh .. benar-benar mudik menjadi hari yang sangat dinanti.
Sekarang, hidup saya beitu-begitu saja. Berada didekatnya lama kelamaan menjadi hal yang biasa saja.Tidak ada yang saya nantikan setiap tahunnya. Tidak ada yang special. 
Pantas saja, orang-orang yang pergi merantau jauh sangat jarang ingin kembali. Kerinduannya hanya sebatas rindu kampung halaman dan pulang setahun sekali. Sisanya mereka amat menikmati hidup yang mereka bangun.
Ketika tau Gita Savitri Devi belum memikirkan untuk pulang dan menentap di Indonesia, membuat saya bertanya-tanya? Kenapa mereka tak ingin pulang ke Negara yang telah membesarkan mereka begitu lamanya. 
Oo sekarang saya faham. Karena tidak selamanya lingkungan yang tengah kita jalani ini persis seperti impian kita sebenernya. Jangan-jangan sebenernya selama ini kita hidup hanya mengikuti arus yang telah ada. Tidak berani keluar dari lingkaran ini. 
Dan seiring berjalannya waktu, semakin sini saya semakin realistis. Saya pengen bebas. Pengen menemukan dunia yang saya impikan. Saya menerima aturan tapi tidak menjadikan kebiasaan orang-orang lama itu harus saya jalani juga. Ini hidup saya, tanggung jawab saya.
Ditambah melihat beberapa minggu ini, bagaimana seorang anak walikota Surabaya sebelum Ibu Risma, memberanikan diri untuk hidup tanpa tuntutan orang sebelumnya. Menjadi pembeda dari semua atas keyakinan dan ilmu yang mereka punya. Katanya, mereka hanya percaya sama yang Maha Kuasa. Membuat saya semakin dibuat dilema. Mungkinkah saya bisa mengikuti langkah mereka pula, atau pada akhirnya saya akan kembali ke bahasa lama....
Atau jangan-jangan saya tengah menjadi perempuan egois di usia dua puluh lima, aaaahh jadi dilema yak 

Komentar

Postingan Populer